Sunday, March 10, 2013

MUSHAF USTMAN VS MUSHAF IBNU MAS'UD


Kita memang kurang mengenal sosok istimewa ini, kalaupun mengenalnya hanyalah sekedarnya saja secara sempit dan bias, itulah yang diajarkan para ulama kita. Hal ini terjadi karena dalam teks umum yang berkisah seputar proses tentang kompilasi Quran, sosok Abdullah ibn Mas’ud ini sepertinya sengaja dikesampingkan. Padahal dia adalah pakar pengajian yang diakui Muhammad. Ia terlalu tahu akan konten Quran dan tidak segan-segan memprotes mushaf edisi khalifah yang minturutnya dianggap dipaksakan dalam proses kompilasinya menjadi kanon keshahihan.

Perlu diketahui bahwa sejak awal dia telah menolak sejumlah surat dan isi ayat yang ditulis pada Mushaf Utsman yang kini kita baca. Sikap Ibn Mas’ud inilah yang dianggap kontra-arus mayoritas dan otoritas kekuasaan, sehingga dianggap merugikan bahkan membahayakan iman islam,bagaimanapun, tidak bisa mengakui adanya versi tandingan”. Itulah sebabnya ia disingkirkan sejak semula apalagi sekarang ini yang mana orang sudah tidak mungkin mengubah atau mengotak-atik “kesempurnaan mushaf Utsman.

Berdasarkan catatan sejarah, mushaf Ibn Mas’ud sempat sangat populer dan memiliki pengaruh yang luas khususnya di Kufah, Iraq, sehingga jejak-jejaknya masih dapat diungkapkan kembali walaupun hanya sebagian saja, misalnya saja seperti yang diriwayatkan oleh Ibn al-Nadim dalam versi Fihrist, dan juga al-Suyuthi dalam versi Itqan. Mushaf Ibn Mas’ud tercatat tidak memuat surat-surat ke 1, 113, dan 114. Urutan surah juga berbeda, dimana surah pertama adalah al-Baqarah (surat Quran ke-2), diikuti surat al-Nisa’ (surat ke-4), baru Ali Imran (surat-3), Al-A’raf (surat-7) dll. Malahan, banyak ayat dalam Quran sekarang ini yang ternyata berbeda teksnya dengan milik Ibnu Mas’ud, contohnya saja dalam surat al-Baqarah saja tercatat tidak kurang dari 101 perbedaan teks terhadap apa yang dihimpun Ibnu Mas’ud dari mulut Muhammad! Semua basmalah dikeluarkan karena tidak dianggap wahyu.

Kini praktis tidak ada seorangpun yang mau mengambil resiko melawan arus dengan mengadopsi jejak-jejak mushafnya Ibn Mas’ud oleh karena semua fragmen dan mushaf Ibnu Mas’ud sebagai bukti kebenaran itu sendiri telah termusnahkan akibat dari dekrit penguasa Utsman, akan tetapi integritas dan otoritas keilmuan Ibn Mas’ud tanpa cela sebagaimana yang terjadi pada diri Utsman yang berkebalikan.

Ibn Mas’ud sering di-stigmatisasi oleh pakar Islam sekarang ini sebagai orang yang emosionil dan banyak berulah macem-macem. Tetapi jangan lupa, ia yang polos dan berwatak lugas itu tentu layak menjadi marah ketika ia dizalimi secara kotor. Orang seperti Ibn Mas’ud tidak akan “ber-ulah” sembarangan. Ia adalah sosok yang dikenal sangat serius, kritis, dengan integritas yang tidak menjilat. Dia adalah salah satu sahabat Nabi yang paling awal memeluk Islam dan berhubungan sangat dekat dengan nabi dan keluarganya.

Bahkan HR Bukhari meriwayatkan bahwa ibn Mas’ud dan ibunya bebas keluar-masuk rumah Rasulullah SAW, bahkan diizinkan untuk mendengarkan pembicaraan rahasia keluarga Nabi, sekalipun istrinya tidak mengenakan hijab (HR.Muslim). Ibn Hisyam dalam bukunya “Life of Muhammad” melaporkan bahwa ia adalah Muslim pertama yang membacakan bagian dari ayat-ayat Al-Quran secara lantang dan terbuka kepada kaum Quraisy yang melemparinya dengan batu. Dia pula yang menjadikan dirinya algojo bagi pemenggalan kepala Abu Jahl demi nabi. Huzaifah bin al-Yaman (sahabat dari kaum Ansar) sampai memberi testimony tentang akhlak dan perilakunya yang mirip Rasulullah yang diteladaninya, Aku tidak pernah melihat seseorang yang kekhusyukan dan perilakunya lebih dekat dengan Rasulullah SAW dibanding Ibnu Mas’ud.

Dia juga paling dipuji dalam hal pengajian dan otoritas keilmuan Al-Quran. Belajarlah mengaji Quran dari 4 orang ; dari Abdullah bin Mas’ud – beliau memulai dengan nama ini – Salim, eks-budak merdeka dari Abu Hudhaifah, Mu’adh bin Jabal, dan Ubay bin Ka’b. (Sahih al-Bukhari, V, pp.96-97)
Simak anak kalimat yang dengan warna biru itu adalah komentar dari Masruq, seorang perawi yang terkenal, yang menunjukkan bahwa diantara orang-orang muslim pada masa itu, Ibn Mas’ud dianggap sebagai sosok yang otoritasnya paling terkemuka dalam hal Quran.
Juga diakui sebagai fakih dan hafiz, guru dan qadi bagi penduduk Kufah. Ia senantiasa menyertai Nabi dalam bepergian dan tidak absen dalam banyak peristiwa yang kritis, juga tercatat turut dalam sejumlah peperangan bersama-sama dengan nabi yakni perang Badr, Uhud, Khandaq, dan pada tahun 6 hijriah ikut sumpah setia Baiat ar-Ridwan di lembah Hudaibiyah. Dengan demikian ketika wahyu-wahyu turun kepada Nabi yang memang tidak mengenal tempat dan waktu khusus, dengan demikian maka Ibn Mas’ud-lah orang yang paling sempat dan mampu mencatat setiap wahyu secara akurat dan benar.

Itulah antara lain yang menjadi sebab beliau berani bersumpah ; Demi Allah, tidak ada satu ayat pun dari Al-Quran tanpa kuketahui latar belakang diturunkannya ayat tersebut. Tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dibanding aku. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian.” (HR.Ahmad bin Hanbal)

Klaim beliau mengetahui semua latar belakang diturunkan setiap ayat yang dicatatnya cukup masuk akal, itulah mengapa dia berani menolak surat 113 dan 114 sebagai wahyu, karena latar belakang kedua surat tersebut diketahuinya sebagai sebentuk doa yang  dipanjatkan nabi untuk mendapatkan perlindungan Ilahi bagi kedua cucunya, Hasan dan Husen. Dia pasti tidak asal ngomong dan berkata sembarangan. Ibn Mas’ud  bahkan sudah membuktikan otoritasnya dalam satu acara khusus dimana ia mendemontrasikan mengaji hingga lebih dari 70 surat, dimana nabi sendiri hadir yang ternyata tidak ada seorang pun diantara hadirin yang menyalahkan pengajiannya (Sahih Muslim, vol 4, p.1312 ). Hal ini membuktikan bahwa kumpulan 70 surat yang dibacanya adalah shahih dihadapan nabi dan proven bacaannya dihadapan publik!

Dan cobalah sedikit berpikir logis, karena ternyata dialah yang telah terbukti, bukan Zayd bin Tsabit atau Utsman, atau yang lainnya yang berani berkata lugas apa adanya, Saya mendapatkan langsung dari Rasulullah 70 surat ketika Zayd masih kanak-kanak. Apakah kini saya harus membuang apa yang saya peroleh langsung dari Rasulullah?”, (Ibn Abi Dawud, Kitab al-Masahif, p.15)
Sekarang saya berani bertaruh bahwa muatan politis sangat kental diketika Quran dibukukan, karena minturut saya ketika itu seolah ada “matahari kembar”, dimana Ibnu Mas’ud yang pintar berhadapan dengan Ustman yag punya kuasa. Jadi itulah jawabanya kenapa kelak Zayd dan Utsman tidak sedikitpun merujukkan ke-70 surah kanonik yang sahih milik Ibnu Mas’ud tersebut!! Bahkan nampak sekali rivalitas tersebut dengan tanpa menyertakannya duduk dalam Panitia Pembukuan Quran. Bahkan menjadikannya tempat berkonsultasi-pun tidak. Bahkan sekedar kilas balik, Muhammad sendiri sempat diperintahkan Allah untuk berkonsultasi kepada para pembaca kitab Taurat dan Injil ketika beliau ada keraguan(Qs.10:94;16:43).
Dengan melihat bahwa kapasitas Ibn Mas’ud ini, dan fakta bahwa jumlah surat dan ayat yang diturunkan di Mekah – dengan volume hampir 70 % dari total wahyu – adalah jauh lebih besar dari pada yang diturunkan di Medinah, jelaslah bahwa keabsahan mushaf Ibnu Mas’ud menjadi paling berwibawa. Tidak ada orang yang bisa membantah kecuali menyembunyikan saja bahwa dialah salah satu otoritas terbesar dalam al-Quran, dan tanpa tandingan untuk surat-surat Makkiyah!
Bahkan khalifah Umar bin al-Khattab dalam suratnya kepada penduduk Kufah secara konsekwen mengkonfirmasikan keteladanan dan ilmunya ; Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku mengutamakan Abdullah bin Mas’ud atas diriku. Maka tuntutlah ilmu darinya.
Berdasarkan catatan, Ibnu Mas’ud ini bukan hanya di-qualified oleh nabi, melainkan juga oleh Jibril menurut tradisi, karena dia dikatakan turut hadir ketika Muhammad sedang me-review Al-Quran dengan Jibril setiap tahun, dan dialah yang telah berhasil mengumpulkan 90 Surat (Ibnu Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kabir, vol.2, p 441, 457). Maka ketika ia masih menyaksikan kedua surat 113 dan 114 hadir sebagai bagian mushaf Utsmani, iapun berkata, Jangan menulis ke dalam Quran apa yang bukan bagiannya!

Lantas, bagaimana dengan nasib Surat Al-Fatihah itu sendiri?
Diatas sudah disebutkan dan sudah diketahui luas bahwa Surat Pembukaan ini/Al fatihah berdasarkan latar belakang wahyu yang diturunkan ternyata tidak dimasukkan oleh Ibn Mas’ud dalam koleksi mushafnya. Surah yang paling diagungkan Islam ini justru tidak punya silsilah kapan dan dimana ia diturunkan Allah kepada Muhammad, atau diturunkan setelah surat yang mana juga tidak diketahui dengan pasti!
Para pakar kita ada yang berspekulasi bahwa surat ini termasuk surat Makkiyah, tetapi ada juga yang mengakuinya sebagai surat Madaniyah (Lihat pelbagai ensiklopedi Islam, atau Muqaddimah Terjemahan Quran oleh Moh. Rifai). Ibn al-Hassar secara kuat memastikan 20 surat Madaniyah dan 82 surat Makkiyah, dan menyisakan 12 surat yang dipertentangkan makki-madani-nya, dimana salah satunya adalah surat al-Fatihah! (lihat al-Itqan I/44-45).

Bahkan malahan yag justru bikin bingung ada yang meyakini surat itu diturunkan dikedua tempat tersebut. Sedangkan sejumlah ulama termasuk Syeik Allamah Thabathabai malahan mengatakan surat istimewa itu telah diturunkan berulang-ulangya di Mekah, ya di Medinah, sehingga justru jadi bahan olok-olok karena menjadikan Jibril  seolah-olah tak memiliki kerjaan lain kecuali mengurusi surah ajaib ini secara berulang-ulang...

Kita yang sebagai muslim awam akan kaget mendapati kenyataan ini. Sebab bukankah Surat yang bernama Al-Fatihah sudah menunjukkan bahwa ia harus ditempatkan sebagai Surat Pembukaan (al-Fatihah), jadi, ya seharusnya ia merupakan surat awal Makkiyah! Ini justru sebuah kekeliruan menyusuli kekeliruan, karena penyanggah ini lupa bertanya, “Siapakah gerangan yang memberi nama surah “al-Fatihah” dan siapa yang menempatkan surat tersebut?”.

Bila saja Alloh yang memberi nama dan penempatan lewat wahyuNya, maka ia mempunyai legitimasi ilahi sebagai Pembuka Al-Quran yang sesungguhnya, dan bukan sempalan manusia. Tetapi dimanapun dalam Quran, Muhammad tidak pernah memberikan judul bagi surat-suratnya, melainkan hanya disebut nama generiknya/umumnya saja sebagai “sebuah surat”, atau “suatu surat”  (Qs.2:23, 9:86, 24:1 dst). Surat-surat ini dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan pelbagai nama yang beragam, sebagiannya telah dibuang, dan baru muncul pembakuan judul surat-surat  yang membuktikan bahwa itu semua adalah penjudulan manusia
Adalah merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang beragam itu…sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-nama surat yang beragam itu telah memasyarakat” (Taufik A. Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, p.211-212).
Adanya keraguan akan pewahyuan Surat Al-Fatihah ini sungguh didukung oleh segudang fakta historis, antara lain menyangkut hal-hal berikut ini :
1). Surah al-Fatihah ini tidak mempunyai pijakan asal-usul dan sebab-musabab pewahyuannya, atau walaupun ia yang sekalipun dianggap surat paling terhormat, namun muncul begitu saja tanpa silsilah!
2). Tanpa kronologi yang jelas, sehingga tidak diketahui kapan ia diturunkan dan dimana, bahkan tak ada indikasi ia diturunkan setelah ayat atau surah apa.
3). Tanpa legitimasi ilahi dalam tata-letaknya sebagai Ummul Kitab, al-Kafiyah, al-Asas dan sebagai surat pertama, sebab bukan Muhammad yang menetapkannya disana. Pernahkah nabi menetapkan: “Letakkan surat al-Fatihah sebagai Surat pertama dari semua Quran yang  terkumpul?”
4). Tanpa saksi mata dari saksi-mata, sebab siapakah yang sudah membacanya sebagai wahyu sebelum hijrah? Al-Fatihah hanya diketahui muncul ketika liturgi Islam dibakukan dalam tradisi shalat setelah mikraj dan hijrah ke Medinah.
5). Adalah konsekuensi fatal yang tidak ingin dilihat oleh kita muslim, bahwa konten wahyunya menunjuk secara lurus bahwa yang wahyu dipersekutukan dengan non-wahyu!

Sekedar tambahan bahwa makna dan isi teks al-Fatihah jelas bukan seruan doa dari Alloh tetapi sebaliknya, adalah seruan doa manusia kepada Alloh. Namun menurut  formatnya, ia tidak mungkin lain dari sebentuk wahyu langsung ucapan Alloh sebagaimana seluruh kalimat Quran itu adalah seruan Allah. Jadi bagaimanakah memahaminya?

Simaklah bahwa Alloh tidak menyertakan kata tanda “Qul” [Katakan (hai Muhammad)...] kedalam surat ini, khususnya untuk ayat 5-7, yang memperlihatkan bahwa ia hanyalah sebentuk doa dari manusia, bukan kata-kata verbatim dari mulut Allah. Bukankah penandaan kata ini sudah dibakukan secara khusus dan sudah diserukan oleh Alloh sendiri sebanyak 332 kali “Qul” diseluruh Quran? Maka mungkinkah surat al-Fatihah akan dilalaikan dari satu kata “Qul”/“Katakan”…bilamana Alloh menginginkan KalimatNya itu diulangkan oleh Muhammad? Kata-seruan itu mutlak diperlukan demi menjaga agar FirmanNya jangan sampai dipersekutukan kedalam “firman manusia.”
Kesalah pahaman antara nabi dan sahabatnya tentang keberadaan ayat-ayat bisa terjadi dan nampaknya hal ini terluput dari catatan sejarah. Salah paham sejenis khususnya mudah terjadi untuk bentuk “bacaan doa pendek” dari Nabi, yang lalu dianggap sebagai kalimat wahyu, karena kebetulan bacaan itu bertema DOA dan diucapkan oleh nabi secara sakral dan transenden dalam situasi doa. Dalam suasana demikian, kalimat-kalimat yang berkarakter demikian juga mungkin diaktualkan sebagai wahyu mistis, larger than life oleh Muhammad ataupun para sahabatnya, entah sengaja atau tidak, karena akseptasi bersama. Dan itu agaknya dipenuhi sebaik-baiknya oleh “surat” 1, 113, dan 114, yang memang semuanya adalah ujud-ujud doa pekat yang agak puitis, lengkap dengan nuansa pemujaan dan penyembahan!

Simaklah analogi legenda isra’ miraj yang juga dikisahkan larger than life sampai ke langit ketujuh, dan sama sekali tidak disinggung sedikitpun dalam Quran. Yang patut kita sayangkan adalah muslim sekaliber Ibnu Mas’ud yang dalam moral, pengetahuan Quran dan integritas yang berani berjuang melawan arus tanpa pamrih yang justru disisihkan Utsman secara sistematik, tanpa didengarkan sedikitpun. Dia yang paling diotorisasikan oleh nabi untuk mengajar Quran, termasuk “mengajar” Zayd dan Utsman tentunya, justru tidak diajak duduk dalam kepanitiaan penyusunan ulang Al-Quran. Ia yang terbukti memiliki sedikitnya 70 surat yang kanonik tanpa terbantah, ternyata samasekali tidak dirujukkan koleksinya oleh Zayd dan Komisi Pengumpulan Al-Qurannya. Melainkan Zayd justru secara insidental merujukkannya kepada koleksi Khuzaymah bin Thabit al-Ansari yang belum teruji yaitu untuk satu ayat Quran yang terlanjur diloloskan, yaitu ayat 23 surah al-Ahzaab! Bukankah itu pilihan konyol? Lantas siapa yang dapat menjamin dan memastikan bahwa hanya ayat itu saja yang kelolosan dan tidak ada yang lainnya?  Bahkan malahan oleh Utsman, koleksi Ibn Mas’ud itu harus dilenyapkan yang anehnya tanpa dipersalahkan! Dan ia sendiri dipecat dari jabatannya di Kufah. Alangkah malangnya sahabat Nabi yang satu ini…

Masih ingatkah anda akan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sudah disetujui DPR (ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan, tahun 2009) yang menyangkut soal tembakau yang ternyata sebagai “ayat” yang kecolongan?. Bukankah pihak yang bertanggung jawab dalam penghilangan itu akan diperiksa dan dituntut? Lantas apa yang anda ketahui dari Zayd yang bertanggung jawab atas pengumpulan mushaf Abu Bakar yang ternyata sedikitnya defisit satu ayat tersebut yang malah dijadikan pahlawan atas keberhasilan “penemuan” kembali satu ayat Khuzamah yang dia sendiri korupkan tadinya. Dan revisi mushaf yang dihasilkannya tidak diperiksa ulang, melainkan taken for granted sebagai karya sempurna! Dari sisi ini saja, tanpa usah berprasangka, kita menyadari bahwa Mushaf Utsman yang dianggap paling sempurna identik seperti apa yang tertulis di Lauhul Mahfudz harus ditempatkan dalam kesalahan  sebesar seperti apa yang diumumkan dan inilah barangkali yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’ud sendiri, yaitu,“Jangan menulis kedalam Quran apa yang bukan bagiannya!”.

[artikel ini bukan untuk bahan olok-olok, namun sebagai pencerah bagi umat agar dapat berpikir logis menuju kebenaran hakiki. Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan tanpa caci maki. Komentar dengan caci maki pasti akan dihapus, terimakasih_ki sapu djagat]

No comments:

Post a Comment